Jumlah penganggur berlipat jumlahnya. Tak ayal, selama dua hari berturut-turut (31/11/2008 dan 1/12/2008), Kompas mewartakan betapa mencemaskannya kondisi sektor riil. PHK terpaksa dilakukan, sektor informal pun terkena getahnya.
Dengan kondisi yang tidak stabil, kepastian akan jumlah penduduk yang makin banyak, urbanisasi meningkat, dan pada akhirnya kota menjadi incaran kaum marjinal mencari pekerjaan merupakan efek domino dari rentan atau fluktuatifnya dunia usaha kita.
Tingkat kriminalitas yang kian meningkat, penyimpangan sosial banyak terjadi, dan kehidupan sosial terpenjara dengan rasa curiga dan tak percaya tinggi tinggi. Interaksi antar warga menurunkan aspek penghargaan sosial yang mumpuni antar sesama.
Dunia berubah. Indonesia yang ramah hanya berbayang di masa lalu. Modernitas begitu menyakitkan. “Pasar domestik” (sektor informal) diamuk satpol PP. Gerobak dagang diangkut. Pedagang hanya memasrah. Pemodal kecil dengan sendirinya akan tergusur. Tidak ada proteksi bahkan penghargaan bagi mereka yang sudah melakukan terobosan kreatif.
Di tengah pengangguran yang mengancam, sudah selayaknya pemerintah berterima kasih kepada warga negara yang lebih banyak meminjam modalnya dari rentenir daripada bank yang lebih percaya pada pengusaha bermodal besar. Singkat kata, memberdayakan warga yang marjinal bagai mimpi sebagaimana iklan politik di televisi. Iklan politik selebihnya tak beda jauh dengan kualitas sinetron yang lebih banyak mengumbar mimpi.
Dilema kemiskinan dan pengangguran
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, kemiskinan merupakan masalah sosial yang sampai saat ini belum teratasi secara maksimal dan menyeluruh.
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam dan penduduk yang melimpah. Secara geografis, Indonesia diapit dua benua dan dua samudera. Oleh karenanya, secara fisik, Indonesia tidak ada kekurangan di dalamnya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, perubahan sosial-budaya, dan ekses globalisasi maka wajah Indonesia tidaklah indah seperti yang dikemukakan sebelumnya. Begitu banyak borok-borok yang menjadikan Indonesia tidak begitu dianggap oleh negara lainnya. Salah satu bentuk borok tersebut adalah kemiskinan yang telah membuat beraneka konflik baik horisontal maupun vertikal.
Secara luas kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan. Kekurangan yang dimaksud adalah kekurangan pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kemiskinan menurut pandangan BPS dan Depsos adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Fakir miskin menurut Depsos adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan meliputi makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Ironisnya, kemiskinan pun merebak pada strata kalangan terdidik. Kebanyakan dari mereka mengalami kemiskinan dikarenakan ketiadaan pekerjaan. Sehingga jelas bahwa miskin dan lalu menjadi penganggur bukan hanya milik orang kecil. Namun juga itu berlaku bagi orang-orang yang terdidik. Fakta itu banyak berlaku di dunia persekolahan dan perguruan tinggi. Menurut HAR Tilaar, berdasarkan pendataan tahun 2007 jumlah diploma dan sarjana yang menganggur mencapai 740.000 orang (Kompas, 16/02/2008).
Cukup jelas kiranya apabila ketidaksingkonan antara kurikulum dengan realita sosial. Untuk itu, mengaitkan dan mengkolaborasikan antara kurikulum dengan realitas sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.
Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial. Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya.
Permasalahannya bahwa sering kali proses belajar tidak menantang siswa untuk melakukan terobosan dalam ruang interaksi sosial yang nyata. Di sebuah hipermarket atau toko-toko besar, kita banyak melihat banyak siswa SMK melakukan magang atau PKL. Di luar sekolah kejuruan, banyak siswa yang tersesat, tak bisa melanjutkan kuliah atas alasan minimnya dana.
Perguruan tinggi negeri (PTN) yang infrastrukturnya dibangun dari pajak rakyat pun tak bisa berkutik. Alokasi pembiayaan yang semakin kecil dari pemerintah saja sudah membuat dosen hilir mudik mencari proyek-proyek penelitian dengan konsekuensi logis, meninggalkan lebih banyak waktu mengajarnya. Padahal riset yang dilakukan pun hanya berbatas pada kepentingan “perut” bukan lagi pada misi idealisme tridharma perguruan tinggi.
Sungguh kompleks memang. Namun pengangguran yang semakin berbilang jumlahnya dan mengurita dimana-mana acapkali menimbulkan ekses yang merugikan banyak pihak. Untuk itu, portofolio dunia persekolahan dan perguruan tinggi yang semakin runyam perlu dievaluasi.
Fungsi kreativitas dan imajinasi siswa harus lebih dikedepankan, sehingga standar kelulusan bukan lagi ditentukan dari ranah kognitif lagi. Ujian nasional (UN) jelas bertolak belakang dari keinginan negara mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di Amerika, tidak ada hubungan nilai rata-rata siswa sekolah dasar dan menengah dengan berjubelnya pemenang nobel yang berasal dari negeri Paman Sam itu. Bahkan kalau mau diukur, prestasi pendidikan dasar dan menengah di Indonesia lebih baik dibanding Amerika.
“Kemenangan” dunia pendidikan dasar dan menengah di Amerika karena lebih mengedepankan aspek kreativitas dan imajinasi siswa. Kebebasan gaya belajar siswa yang liberatif memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi keunggulan dirinya.
Tentu saja, kita tak pantas berbangga-ria, ketika anak-anak Indonesia sudah unggul di berbagai kompetisi setara olimpiade. Kemenangan itu baru sebatas teori, belum sampai pada tahap tindakan penemuan. Tentu saja, prasayarat dana, fasilitas riset (laboratorium), perpustakaan, dan infrastruktur pendukung lainnya harus tersedia, sehingga kemenangan akan terasa lebih nyata. Namun data menunjukkan bahwa di tingkatan SMP, sebanyak 34,3 persen sekolah belum mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen tidak memiliki laboratorium (Kompas, 2/12/2008).
Di perguruan tinggi, tak semua produk inovatif dapat dikomersialisasikan. Parker dan Mainelli (2001) mencatat bahwa dari 100 ide penelitian di perguruan tinggi Amerika hanya 10 yang kemudian direalisasikan dalam proyek penelitian. Dari ke-sepuluh proyek ini hanya dua yang dinilai memiliki potensi komersial dan hanya satu dari keduanya yang kemudian benar-benar menguntungkan. Simpulannya jelas, pengembangan inovasi hasil kreativitas dan imajinasi dapat menjadi basis pengembangan dana. Pekerjaan berat memang, karena selama 22 tahun (1985-2007) penetapan hak atas kekayaan intelektual di seluruh perguruan tinggi di Indonesia hanya 419 (Kompas, 18/11/2008).
Pentingnya kreativitas
Wabah kemalasan menjalar kemana-mana. Banyak orang lebih suka kenyamanan. Lebih baik kehilangan tantangan daripada kehilangan pekerjaan. Banyak sekolah dibuat sekadarnya. Banyak pahlawan tanpa tanda jasa yang puluhan tahun mengajar diberi penghargaan atas alasan kasihan, bukan profesionalitas mereka. Kompleks!
Guru bantu atau honorer, apapun namanya, sudah seperti pekerja sosial yang dipaksa mengajar profesional dengan gaji ala kadarnya atau dibayar gabah. Misi mulia mereka dianggap amal atau sekadar solidaritas sosial. Faktanya lagi, 63 persen guru TK-SMA di Indonesia belum sarjana (Kompas, 12/04/2008). Sebaliknya, Ki Supriyoko mencibir banyak remaja putri kota atau bahkan desa ingin menjadi guru TK bukan atas alasan mencintai profesi guru TK melainkan karena sulitnya mencari pekerjaan (Republika, 18/11/2008). Ironis!
Selanjutnya, pemerintah sudah saatnya menjaga garda terdepan Republik ini dengan pendidikan sebagai senjata utamanya. Berbagai penemuan kreatif yang terjadi dengan proses evolusi pendidikan akan membalikkan kondisi Indonesia menjadi lebih terhormat di hadapan bangsa lain. Belum terlambat dan selalu ada waktu bagi siapapun yang mau berpikir bersama kompleksitasnya.
Kalau kompleksitas itu adalah tantangannya, maka kreativitas berpikir adalah pijakan tepat mengantar nuansa pendidikan menjadi lebih menyenangkan. Masalah selalu diinginkan untuk menantang pikiran. Mengasah pikiran menjadi lebih peka terhadap permasalahan dan alternatif jawaban. Pada tahun 1970-an, D.W. MacKinnon, seorang profesor psikologi melakukan riset kreativitas di Universitas California di Berkeley. Hasil tes menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki kreativitas tinggi, tingkat kecerdasannya tidaklah berbeda dari rekan-rekan mereka yang mempunyai kreativitas lebih rendah, tetapi mereka mengambil lebih banyak waktu untuk mempelajari masalah dan lebih lama ”bermain dengan mereka.”
Pertanyaannya, mengapa bangsa ini terus mundur ke belakang? Karena selama ini, permasalahan dianggap neraka, sementara kenyamanan bagai surga. Berlomba-lombalah siswa mencari bimbel untuk tahu bagaimana mengisi soal ujian dengan mudah, tanpa lelah berpikir, dan tanpa harus bersusah payah. Padahal kalau ditelisik lebih jauh lagi, maka surga dikelilingi sesuatu yang tidak menyenangkan, sementara neraka selalu dikelilingi dengan segala yang menyenangkan. Sering kali belajar itu tak menyenangkan sebagaimana kata bijak ”belajar itu akarnya pahit, buahnya manis.”
”Bermain” dengan masalah adalah bagian hidup dari pemikir kreatif yang konsisten bergulat dengan masalah. Mereka menikmati permainan tidak hanya sehari-dua hari, namun bertahun-tahun, belasan, sampai puluhan tahun. Sampai pada suatu titik perjalanan, apa yang mereka temukan dan hasilkan tidak hanya memenangkan diri sendiri, namun juga peradaban umat manusia secara keseluruhan dan kedigdayaan sebuah bangsa dimana ia berasal.
Edison dengan penemuan lampunya, Bill Gates dengan komputer personalnya, James Watt dengan mesin uapnya, dan masih banyak tokoh lainnya yang dapat menjadi inspirasi betapa pentingnya harga sebuah kreativitas yang dapat mengangkat martabat bangsa. Itu bisa terjadi di Indonesia, kalau sistem pendidikan nasional mau lebih menekankan proses berpikir kreatif di dalamnya. Jelas hikmah yang akan didapatkan bahwa dilema kemiskinan dan pengangguran akan dijadikan pelajaran dan cambuk bagi anak didik untuk kreatif menemukan jalan keluar yang solutif, progresif, antisipatif, dan adaptif terhadap gelombang pasang permasalahan yang begitu kompleks mendera bangsa ini. Semoga!
Source : http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/01/pendidikan-nasional-perlu-sentuhan-kreativitas/
Tuesday, December 1, 2009
Pendidikan Nasional Perlu Sentuhan Kreativitas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Untuk pembaca yang menginginkan pembahasan atau kunci jawaban dari post soal silahkan wa 08562908044 (fast respond) | monggo tinggalkan kritik, saran, komentar atau apapun ^_^